Jakarta yang Multietnis



Judul Buku                : Profil Etnik Jakarta

Penulis                        : Lance Castles

Penerjemah                : Gatot Triwira

Tebal                          : xxxii + 112 halaman

Penerbit                      : Masup Jakarta

Cetakan                      : II, 2017

ISBN                           : 978-979-25-7294-0

Jakarta telah lama menjadi tempat tinggal bagi penduduk dengan latar belakang etnis yang beragam, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Bahkan kondisi tersebut, telah berlangsung sejak wilayah ini dijadikan markas Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen, pada tahun 1619. Keadaan ini terus terjadi hingga saat ini, meskipun tujuan arus perpindahan penduduk ke ibu kota mungkin sudah tidak sama lagi dengan maksud di masa VOC.

Melalui buku berjudul Profil Etnik Jakarta, Lance Castles menulis asumsinya terkait komposisi penduduk ibu kota setelah Indonesia merdeka, khususnya pada tahun 1960-an yang masih terdiri dari bermacam-macam etnis, meskipun tentunya terdapat perubahan asal etnis. Menurut Castles, sensus penduduk 1961 Daerah Chusus Ibukota (D.C.I) Djakarta Raya (selanjutnya disebut sensus 1961) tidak mencantumkan kategori etnis, sehingga untuk mengetahui perkiraan beragam etnis yang tinggal di wilayah ini, Castles menggunakan hasil sensus pada 1930 yang mencantumkan jumlah penduduk berdasarkan kategori etnis. Untuk mendapatkan perkiraan yang mungkin benar, Castles menggunakan perhitungan berdasarkan asumsi, di mana semua orang di Jakarta pada tahun 1961 merupakan sisa atau keturunan dari populasi tahun 1930 atau penduduk pendatang sejak tahun 1930 atau para keturunannya.    

Castles memulai pembahasan dalam buku yang sebelumnya berupa artikel, yang dimuat dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University pada tahun  1967 berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” ini, terkait VOC yang dengan sengaja mendatangkan penduduk dari luar wilayah Jakarta (di masa VOC Jakarta bernama Batavia), pasalnya pada saat itu di wilayah ini masih jarang penduduk. Tujuan VOC membawa penduduk dari luar Batavia, untuk mengembangkan VOC sebagai suatu perusahaan dagang. Penduduk dari luar tersebut terdiri dari para budak dan penduduk bebas, yang sengaja didorong VOC untuk masuk ke Batavia.  

Pada awalnya, VOC membawa para budak dari wilayah Asia Selatan, yaitu dari pantai Coromandel, Malabar, Bengal, dan Arakan di Burma.Selanjutnya, secara bertahap Kepulauan Nusantara menjadi sumber utama yang menyediakan budak, mulai dari Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Nias, Kalimantan, bahkan sampai Pampanga di Luzon (yang disebut orang Papanger). Tetapi, sumber utama yang secara konsisten menjadi pemasok budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan. Selain itu, adapula  penduduk bebas yang didorong untuk menetap di Batavia, di antaranya orang-orang Tionghoa, Moor (orang muslim dari India Selatan), Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon (Hal 7-8).

Seiring berjalannya waktu dan perubahan kondisi ekonomi dan politik di Batavia, beragam etnis penduduk yang masuk ke wilayah ini pun tidak terbatas yang didatangkan VOC. Apalagi setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 karena pailit, selanjutnya pemerintah Belanda secara langsung mengendalikan Batavia.
Banyak di antara penduduk dari etnis tertentu yang telah masuk ke Batavia menghilang, tetapi adapula penduduk dari etnis lain yang sengaja datang ke daerah ini. Menghilangnya suatu etnis bisa karena kembali ke tempat asalnya, selain itu ada juga etnis yang sebenarnya masih ada tetapi sudah tidak terlihat lagi ciri khas budaya dari penduduk tersebut. Misalnya keturunan dari pernikahan campuran antaretnis, sebab peduduk dari beragam etnis yang masuk ke Batavia, tidak membatasi diri bergaul dengan penduduk yang berbeda etnis, mereka semua berbaur menjadi satu. Sementara, alasan kedatangan penduduk yang masuk ke wilayah ini, antara lain adanya proyek pembangunan yang dilakukan kolonial Belanda dan perluasan fungsi pemerintahan di bawah pengaruh Politik Etis. 

Berdasarkan sensus 1930, tercatat orang Bali, Sumbawa, dan Papanger hampir tidak tersisa. Sedangkan orang Bugis dan Makassar masih ada, meskipun jumlahnya hanya sedikit. Orang Melayu dan Ambon tetap bertahan. Orang-orang yang berasal dari pulau-pulau luar lainnya mulai berdatangan, secara berurutan mereka itu kurang lebih adalah; orang Manado, orang Minangkabau, serta orang Batak  (Hal. 27). 

Setelah Indonesia merdeka, kebanyakan etnis yang pindah ke ibu kota berasal dari daerah yang dekat dengan Jakarta dibandingkan etnis dari luar Pulau Jawa. Hal itu menurut Castles, karena pertimbangan jarak yang jauh antara tempat tinggalnya dengan Jakarta, sehingga mereka kesulitan untuk melakukan perjalanan ke ibu kota. 

Jumlah populasi penduduk Jakarta berdasarkan sensus 1961 yang mencapai  2.906.500 jiwa, Castles memperkirakan dari populasi penduduk tersebut berdasarkan pengelompokan etnis, presentase terbanyak ditempati orang Sunda sekitar 32,8%, orang Jawa dan Madura ada 25,4%, sementara orang Betawi sebagai etnis asli Jakarta mencapai 22,9%, dan sisanya 18,9% gabungan kelompok etnis lainnya (Hal. 57). 

Tidak mengheran jika Castles membuat ungkapan pada bagian pendahuluan buku ini “Di Jakarta Tuhan sedang membuat orang Indonesia!” Untuk menunjukan kondisi penduduk Jakarta yang terdiri dari beragam etnis, tetapi tidak ada satu pun etnis yang mendominasi. Hal ini tentunya membuat buku ini menarik untuk dibaca, ditambah kondisi Jakarta saat ini masih menjadi tujuan orang dari beragam etnis berpindah ke wilayah ini.

Comments