Sisi Lain Seni Desain



Judul Buku                : Desain, Bandung, dan Budaya Sunda       
Penulis                        : Jamaludin   
Tebal                          : 228 Halaman
Penerbit                      : Kiblat Buku Utama
Cetakan                      : I, November 2017
ISBN                           : 978-979-8004-07-0
Seni desain tidak hanya digunakan kreator dalam merespon kondisi lingkungan, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain melalui berbagai karya yang terwujud seperti penataan ruangan, bangunan, mebel, perabotan, dan sebagainya. Seni desain bisa juga menjadi titik tolak dalam menanggapi berbagai hal, yang dituangkan dalam bentuk tertulis seperti esai.

Hal ini terjabarkan dalam buku Desain, Bandung, dan Budaya Sunda. Buku yang ditulis kreator sekaligus akademisi di bidang desain ini, berupa kumpulan esai yang sebagian besar pernah dimuat di media cetak mulai 2003 hingga 2016.  Selain bersumber dari buku, internet,  dan wawancara, tulisan yang terdapat dalam buku ini berasal dari observasi atau pengalaman keluyuran penulis baik di dalam negeri maupun mancanegara di antaranya ke kota-kota yang ada di Belanda dan Kota Paris di Perancis.
Di dalam kumpulan esai ini terdapat benang merah yang menjadi sudut pandang penulis, yaitu setiap karya desain dipengaruhi latar belakang lingkungan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjadi tujuan lahirnya produk desain tersebut. Baik karya desain yang ada di luar negeri maupun di dalam negeri yang berpijak pada kearifan lokal.
Dalam desain modern, salah satu pendekatan desain terhadap mebel dan interior yang relatif bertahan hingga kini, populer dengan sebutan minimalis. Gagasan ini sebenarnya telah dirintis sejak akhir abad ke-19, antara lain terlihat pada gerakan estetika de Stijl di Belanda dan sekolah Bauhaus, Jerman, pada 1920-an. Minimalis berhubungan dengan jumlah sedikit, yang dalam estetika modern berarti cukup. 
Jika desain masa lalu meriah dengan segala hiasan, dekorasi  atau ornamen, maka dalam desain modern semua hiasan itu dianggap ilegal. Dari segi bentuk, desain modern yang rasional menitipkan gagasan pada garis yang lurus-lurus saja. Salah satunya desain dapat dibuat dalam bentuk segi empat atau kotak dengan kontruksi penggabungan dari beberapa garis lurus. Interior yang dilengkapi dengan mebel modern minimalis menciptakan suasana lega dan lapang. Konon, ruang bergaya minimalis dapat menjadi terapi jiwa bagi penghuninya (Hal 28-31).
Sementara dalam konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai memiliki karakteristik khas sehingga memerlukan alat khusus, yang juga khas untuk mengolahnya melalui pembuatan dan pemasangan tertentu, sesuai dengan sifat material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu, misalnya, disesuaikan dengan sifat khas bambu tersebut. Bambu bersifat lentur sehingga dapat bertahan terhadap pengaruh getaran gempa bumi (Hal 156).
Begitupun dengan produk seni tradisional, termasuk desain atau kriya dalam bentuk perabotan, senantiasa memiliki kaitan makna dengan kosmos atau alam yang lebih luas. Perabotan dibuat selain dengan bentuk yang memenuhi aspek utilitas juga dengan bentuk yang memiliki makna kosmologis. Semisal, wadah padi atau beras seperti nyiru (alat penampi gabah) berbentuk bulat, aseupan (kukusan) berbentuk kerucut memiliki bentuk garis luar segitiga berbentuk susunan lingkaran dari kecil hingga besar, sedangkan boboko (bakul) terdiri dari susunan bentuk segi empat pada bagian dasar (soko) yang secara perlahan berubah jadi lingkaran pada bagian tengah menuju bentuk lingkaran sempurna di bagian atas. Adapun leuit (lumbung padi) umumnya menggunakan denah berbentuk segi empat.  
Dalam estetika sunda, bentuk segitiga dengan salah satu sudut berada di atas (nyungcung) adalah perlambang tempat suci, seperti istilah buana nyungcung, tempat dalam kosmologi Sunda untuk “dunia atas” tempat Nu Ngersakeun (Tuhan Yang Maha Esa) dan bale nyungcung untuk tempat beribadah seperti masjid. Adapun bentuk lingkaran dimaknai sebagai keyakinan dan keimanan sebagaimana terdapat dalam ungkapan “niat kudu buleud” (niat harus bulat). Segi empat melambangkan perilaku yang sempurna sebagaimana ungkapan “hirup kudu masagi” (hidup harus seperti bujur sangkar) (Hal 152-153).
Selain menggunakan bahasa Indonesia, di dalam buku yang terdiri dari empat bagian ini, khusus pada bagian terakhir penulis menggunakan bahasa Sunda dalam menulis esai-esainya.

Comments