Membaca Sisi Lain Raffles



Buku berjudul Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa ini, lebih banyak mengupas tentang sisi gelap masa invasi Inggris di Tanah Harapan (Jawa) dan beberapa wilayah lainnya di Nusantara, yang dikendalikan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, khususnya pada tahun 1811-1816.

Kisah invasi ini dimulai pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal yang membawa rombongan Gubernur Jendral wilayah-wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Inggris di Asia, Lord Minto termasuk di dalamnya Raffles tiba di Cilincing yang letaknya sekitar 12 kilometer dari ibukota kolonial kuno yang megah, Batavia, Sang Ratu Timur (hal 11).
Sebelum invasi dimulai, Lord Minto memang diperintahkan oleh Perusahaan Hindia Timur Inggris menyerang Jawa secepat mungkin, namun kalau sudah menumbangkan pemerintah Napoleon Belanda dan menghancurkan pertahanannya, Inggris harus “menyerahkan pulau tersebut kepada orang Jawa”. Alasan para Direktur adalah murni karena keuangan. Lord Minto telah memutuskan untuk mengabaikan keinginan para Direktur. Kekhawatiran akan nasib warga sipil Belanda dan Tiongkok (harta benda dan nyawa mereka bakal menjadi korban balas dendam para pemimpin Melayu) dia  jadikan pembenaran moral, dan yang lebih penting, menyerang lalu mundur bukanlah cara Inggris (hal 59-60).
Kurang dari tiga bulan berada di Jawa, pada 19 Oktober 1811, Lord Minto memutuskan kembali ke Kolkata, India. Sebelum berlayar pihaknya mendirikan pemerintahan Inggris di tengah masalah sumber daya manusia dan keuangan yang terbatas. Ditunjuklah Raffles sebagai Letnan Gubernur. Setelah kepergian Gubernur Jendral, Letnan Gubernur akan menjalankan  kekuasaan Pemerintah atas namanya sendiri dan akan diberi seluruh wewenang terkait didalamnya dengan cara terbaik dan paling memadai (hal 130).
Dalam waktu singkat, tak sampai setahun, dengan hanya perubahan musim-dari musim kemarau ke musim hujan dan kembali ke musim ke marau lagi-Inggris, diwakili seorang Raffles, telah menaklukkan Tanah Harapan. Belanda dipukul mundur dan anak buah Napoleon dikirim pulang. Sultan Badaruddin dari Palembang menjadi pengungsi di hutan dan kotanya banjir darah, dan yang terhebat, raja-raja yang paling terkenal di seluruh Nusantara, Susuhunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta, telah diinjak-injak di bawah kaki Raffles; orang-orang istana secara harfiah telah mencium lututnya(hal 231).
Raffles sesungguhnya memimpin koloni yang berada di ambang keruntuhan keuangan total. Prediksi Raffles tentang keuntungan anggaran sebesar 750.000 dolar dari Jawa pada 1812 berubah menjadi kerugian besar, karena petualangan militernya. Raffles mengira pertempuran yang direncakannya bisa terbayar dengan sendirinya: katanya ada timbunan emas di Palembang dan istana Yogyakarta sendiri juga memiliki banyak harta. Namun, Sultan Badaruddin dan harta karunnya menghilang dari Palembang, dan biaya seluruh ekspedisi harus ditanggung oleh anggaran. Dalam hal Yogyakarta, Raffles tampaknya melupakan aturan alokasi harta rampasan (hal 265-267).
Pada fajar 25 Maret 1816, Raffles yang kurus dan lemah diangkut dari Batavia, setelah empat tahun, tiga puluh satu minggu, dan enam hari kedatangnnya bersama rombongan di Jawa. Raffles begitu sakit sehingga pulang ke kabut Inggris dan udara sejuk untuk sementara mungkin bisa menyelamatkan hidupnya (hal 361).
Salah satu pencapaian Raffles yang menjadi sorotan dalam buku ini, yaitu Raffles dan anak buahnya benar-benar merupakan orang-orang pertama yang membuat Borobudur diperhatikan dunia Eropa. Penyusunan daftar candi di Jawa akhirnya merupakan penaklukan Inggris yang paling ramah dan mengagumkan di Indonesia (hal 254).
Meskipun buku ini mengisahkan perjalanan sejarah yang telah berlangsung sekitar dua abad yang lalu, tetapi Tim Hannigan sebagai penulis tidak hanya memberikan gambaraan keadaan Jawa kala itu, namun juga menyuguhkan kondisi Jawa pada masa kini. Hal itu, dapat menarik minat pembaca untuk melihat lebih dekat kawasan Jawa sekarang yang telah merdeka.

Comments