Membongkar Budaya-Religi-Magis di Indonesia

Judul Buku             : Estetika Paradoks
Penulis                   : Jakob Sumardjo
Jumlah Halaman     : xii-560
Penerbit                 : Kelir
Cetakan                 : Juli, 2014
ISBN                     : 978-602-17836-4-1

Indonesia sejak zaman dahulu dikenal terdiri dari banyak suku, yang memiliki keberagamaan dalam berbagai hal yang patut untuk dijaga keberadaannya, dengan menjunjung sikap toleransi yang tinggi. Guna mengingatkan variasi yang berbeda, khas, dan unik tersebut, kita selalu diingatkan dengan makna semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua.


Jika dilihat secara paradoks, sebenarnya keberagaman tersebut seperti dalam unsur budaya, di antaranya yaitu seni tradisi etnik, bentuk rumah, dan motif batik tidak sepenuhnya berbeda. Semuanya bertitik tolak dari kesamaan pola pikir. Penjelasan itu yang tertuang dalam buku Estetika Paradoks karya pelopor filsafat di Indonesia, Jakob Sumardjo.
Pertanyaannya bagi kita sekarang ini, dari mana setiap suku yang saling berjauhan dan tak pernah bertemu ini, yang sarat dengan falsafi ? Mereka inilah semacam pawang atau resi atau tetua adat yang telah menjalani hidup spiritual hampir selama hidupnya, yang memperoleh pencerahan spontan dari laku reflektifnya. Laku semacam ini tidak usah terjadi di masa lampau yang jauh, tetapi juga dapat dilakukan manusia modern sekalipun, dengan laku reflektif spiritual yang mengatasi ruang dan waktu. Para seniman besar, para filsuf, bahkan para ilmuwan modern melakukan apa yang dilakukan para pawang suku Indonesia masa lampau, yakni bertanya, mencari, menemukan persoalan, dan tiba-tiba memperoleh cahaya pencerahan atas pertanyaan yang dimilikinya. (hal 7)
Dalam buku yang terdiri dari enam bagian ini, penulis menjelaskan filsafat yang dimiliki masyarakat pra-modern yang sangat berbeda dengan filsafat barat. Manusia pra-modern Indonesia mempunyai filsafatnya sendiri, filsafat yang diartikan memahami realitas ini, secara mendasar, mendalam, meluas dan menyeluruh, dengan suatu kontruksi pikiran tertentu. Hanya saja jangan disamakan dengan filsafat yang berkembang di masyarakat barat yang dinamik. Realitas kesadaran mereka kuat, sedang manusia Indonesia lebih memihak pada realitas faktual-objektif pengalaman. Laku dan laku itulah ilmu. (Hal 13)
Dari awal Penulis menekankan kepada pembaca bahwa buku ini bukan telaah teologis, tetapi pemahaman ilmu budaya. Buku ini hanya mengajak pembaca untuk memahami cara berpikir keagamaan (religius) pada budaya atau cara hidup masyarakat-masyarakat suku di masa-masa awalnya. Pada waktu itu belum dikenal konsep Tuhan. Bahkan beberapa suku mengambil konsep itu dari agama-agama yang dianut orang Indonesia sekarang ini. Penyebutan Kosong, Hyang Tunggal atau Batara Tunggal, Si Ijunajati Nistemen, tidak bisa disamakan dengan Tuhan begitu saja. (Hal 26).
Meskipun hanya terdapat empat jenis budaya-religi-magis di Indonesia, yakni budaya peramu, budaya ladang, budaya sawah, dan budaya maritim, namun sumber masalahnya sama, tak lain adalah paham dualisme-analogistik atau completio oppositorum, bahwa keberadaan ini merupakan pasangan-pasangan saling bersebrangan. Manusia dalam budaya primordial Indonesia (juga bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara dan sebagian Asia) percaya bahwa sesuatu itu karena adanya yang lain, yang bersebrangan tidak dingin tanpa panas, tidak ada panjang tanpa pendek, tidak ada lelaki tanpa perempuan. (Hal 50)
Fenomena dualitas segala sesuatu yang demikian itulah yang dikenal secara merata di masyarakat suku Indonesia. Hanya bagaimana masing-masing suku memecahkan kondisi dualistik inilah yang berbeda-beda. (Hal 53)
Untuk mempermudah pemahaman akan empat jenis budaya-religi-magis tersebut, penulis membaginya dalam empat pola dasar yang dapat dianalisis lebih banyak melalui artefak budaya dari suku-suku tersebut. Empat pola dasar tersebut yakni pola dua, pola tiga, pola empat, pola lima-sembilan. Dalam menganalisis budaya-religi-magis ini erat kaitannya dengan lingkungan fisik di mana masyarakat primordial itu hidup.
Seperti kebanyakan buku filsafat yang seringkali membuat pembaca mengerutkan kening ketika membacanya, begitupun dengan buku ini namun penulis memberikan banyak contoh dalam pembongkaran pola-pola dasar dari berbagai suku tersebut, selain dalam teks penulis pun menghadirkannya dalam bentuk gambar-gambar dan foto artefak berupa gambar dan foto ilustrasi karya penulis.
Sayangnya beberapa kata-kata dalam buku ini, banyak terdapat salah ketik sehingga cukup mengganggu ketika membacanya.

Comments