Sampah
plastik kini tengah menjadi monster, yang siap melumat bumi tempat tinggal makhluk
hidup termasuk manusia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan
jumlah keseluruhan sampah di Indonesia pada 2019 akan mencapai 68 juta ton, di
mana sekitar 14 persen atau 9,52 juta ton merupakan sampah plastik.
Sebenarnya,
sampah plastik tidak akan menjadi masalah, jika mendapatkan penanganan dari
awal. Sayangnya, manusia sebagai pengguna produk plastik untuk kebutuhan
sehari-hari, kebanyakan abai dengan memilih membuang sampah sembarangan,
seperti ke jalan dan sungai yang menimbulkan masalah baru seperti banjir dan penumpukan
sampah di laut yang merusak ekosistem laut.
Penggunaan
plastik dalam menunjang kebutuhan sehari-hari, tidak selalu menghasilkan sampah.
Asalkan, kita tidak mudah untuk memakai plastik sekali pakai, namun sayangnya
kebanyakan dari kita memilih menggunakan plastik tersebut, karena dianggap
lebih praktis dan sudah menjadi gaya hidup yang membudaya.
Untuk
menghindari sampah plastik yang membutuhkan waktu lama untuk terurai, kita bisa
memilih memanfaatkan misting (tempat
makanan) dan tumbler (tempat minuman)
plastik yang bisa dipakai berulang kali. Asalkan bahan plastik yang dipilih,
sesuai dengan rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga aman
untuk kesehatan tubuh kita. Wadah yang bisa dipakai berulang ini, tidak hanya
kita gunakan untuk membawa bekal makanan dan minuman dari rumah saja, melainkan
bisa kita pilih saat membeli makanan dan minuman dari luar.
Selain
itu, cara lain untuk menghindari sampah plastik sekali pakai, tidak hanya adanya
kesadaran dari konsumen dengan menggunakan media plastik yang bisa digunakan
berulang. Perlu adanya kerjasama dari produsen berbagai barang baik makanan dan
minuman maupun bukan, yang mengemas produknya dengan bahan yang ramah
lingkungan, sehingga saat konsumen membelinya tidak menghasilkan sampah.
KEARIFAN LOKAL
Apabila
bercermin pada kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakat, salah satunya
masyarakat Sunda di masa lalu, kita tidak akan terkerangkeng dalam masalah
sampah plastik. Pasalnya, dalam kehidupan masyarakat Sunda selalu berdampingan
dengan alam.
Hal
itu sesuai dengan pandangan dunia suku-suku di Indonesia primordial, bahwa
manusia, alam semesta, dan ketuhanan merupakan kesatuan. Hidup di dunia ini
sakral. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan persamaan. Mikrokosmos
adalah makrokosmos. Manusia adalah putra alam. Alam adalah nenek moyang manusia.
Karena
alam adalah nenek moyangnya, maka alam adalah kearifan, alam adalah guru yang
mengajar manusia. Alam terkembang menjadi guru. Kearifan manusia dipelajari
dari alam di sekitarnya, karena alam memang senantiasa memberi kehidupan bagi
manusia. Manusia tunduk dan tergantung kelangsungan hidupnya dari alam (Jakob
Sumardjo: 2014).
Sehingga
media untuk membawa dan mengemas makanan dan bahan makanan pun, menggunakan bahan-bahan
yang berasal dari alam. Tentunya mudah untuk mendapatkan bahan bakunya, karena
tumbuh di sekitar tempat tinggalnya. Masyarakat Sunda sering menggunakan bambu
(awi dalam bahasa Sunda), untuk
membuat berbagai wadah dalam memenuhi keperluan sehari-hari.
Contoh
paling sederhanya jinjingan yaitu
keranjang khas Sunda yang bisa digunakan untuk berbelanja ke pasar. Jinjingan ini terbuat dari bilah bambu
dan benang katun, yang dibentuk kotak persegi panjang, dilengkapi dengan
penutup dan ditambah pegangan atau penjinjing, yang dipasang pada kedua sisi
tengah permukaan kotak membentuk setengan lingkaran.
Saat
ini, kebanyakan orang menggunakan kantong kresek untuk membawa barang-barang
saat berbelanja, tidak ada salahnya jika kembali beralih menggunakan jinjingan untuk berbelanja di pasar
tradisional maupun pasar modern. Jinjingan
ini tentunya sangat ramah lingkungan, selain bahan bakunya berasal dari alam,
juga tahan lama sehingga bisa dipergunakan berkali-kali, tidak hanya hitungan
hari bahkan bertahun-tahun.
Sementara
untuk tempat bekal makanan, orang Sunda memiliki rantang susun yang juga
terbuat dari bambu, yang terdiri dari beberapa rantang yang disusun, sehingga
dapat menyimpan berbagai jenis makanan
tanpa tercampur. Sementara, untuk pedagang bahan makanan maupun makanan jadi,
yang banyak menggunakan plastik sekali pakai. Jika mengikuti budaya Sunda, bisa
menggunakan berbagai kemasan mulai dari bambu, daun pisang, pelepah pisang,
daun hanjuang, daun jati, daun jambu air, daun kelapa, daun aren, sampai kulit jagung
(kelobot).
Contohnya
seperti pedagang tahu Sumedang, yang menggunakan bongsang yang terbuat dari bilah
bambu yang dianyam yang dilapisi dengan daun pisang. Penjual telur dan
buah-buahan seperti pisang dan stroberi bisa pula menggunakan bilah bambu yang
dianyam, dengan ketebalan bilah bambu yang bervariasi menurut jenis buah yang akan
dikemas.
Bagi
pedagang ikan bisa menggunakan pelepah pisang segar untuk membungkus ikan yang
dijual, sementara pedagang daging ayam dan sapi biasanya memakai daun jati.
Sedangkan gula merah bisa dibungkus menggunakan pelepah pisang dan daun aren
yang dikeringkan. Jika kearifan lokal ini diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, akan mengurangi produksi sampah plastik, karena sampah kemasan
khas Sunda bisa digunakan sebagai bahan baku pupuk kompos yang bermanfaat untuk
tanaman. Selain itu, akan berimplikasi dalam menjaga dan melestarikan alam.
Pasalnya, semua bahan baku itu berasal dari alam, sehingga untuk memenuhinya dengan
menanam bahan baku tersebut seperti bambu, pohon pisang, aren, jagung, dan
lain-lain.
Comments
Post a Comment