Menjadi Murid yang Kritis



Judul Buku                : Dewa Ruci
Penulis                        : Heru HS
Tebal                          : viii +124 halaman
Penerbit                      : Ecosystem Publishing
Cetakan                      :  I, 2017
ISBN                           : 978-602-1527-42-9





Dalam mempelajari sesuatu, kita membutuhkan seorang guru. Guru dalam budaya Jawa, akronim dari digugu lan ditiru (orang yang dipercaya dan diikuti). Dalam memilih guru untuk memberikan pengajaran, kita harus jeli dan menggunakan logika dalam menaati semua perintah yang diajarkan.
Hal ini yang terjabarkan dalam buku Dewa Ruci, kisah dalam buku ini merupakan tafsir penulis berdasarkan pengalamannya meresapi cerita dalam pewayangan yang didapat sejak belia, kemudian dihadirkan dalam bentuk novel dengan menggunakan bahasa kontemporer. 

Hal itu dilakukan guna memikat pembaca semua usia, penulis menasbihkan buku ini sebagai novel wayang spiritual.

Buku mengisahkan perjalanan Bima (salah satu Pandawa) untuk mencari Air Kehidupan, atas perintah gurunya Resi Dorna. Bima sama sekali tidak mengetahui dan tidak ada petunjuk dari gurunya tentang Air kehidupan selain mencarinya di laut Selatan.

Sebelum melakukan pencarian, Bima terlebih dahulu meminta restu kepada Dewi Kunti ibunya, namun sempat tidak mendapatkan persetujuan. Ketakutan ibunya bukan tanpa alasan, sebab Resi Dorna kurang suka kepada Pandawa sejak peristiwa penyerbuan Kerajaan Hastinapura ke Kerajaan Pancala beberapa waktu sebelumnya. 

Setelah berhasil mengalahkan pasukan Pancala dan menangkap rajanya yakni Prabu Drupada, Pandawa menolak perintah Resi Dorna membunuh Prabu Drupada. 

Selain itu, setelah Yudistira diangkat sebagai raja Hastinapura dan mengembalikan sebagian wilayah Pancala yang dicaplok Hastinapura, maka bertambah tidak senanglah Resi Dorna pada Pandawa.

Namun karena watak Bima yang keras dan memiliki keyakinan dapat menyelesaikan tugas dari gurunya, Bima tetap ingin melaksanakan perintah tersebut. 

“Bima keyakinan memang sangat menunjang keberhasilan dalam mencapai cita-cita. Ketika kau berpikir penuh keyakinan, maka peluangmu amat besar untuk sukses, namun ketahuilah bahwa berpikir penuh keyakinan hanyalah modal belaka. Keberhasilanmu bukan ditentukan oleh itu. Penentu keberhasilanmu adalah izin dan kehendak dari Yang Maha Esa” pesan Dewi Kunti (Hal 7-9).

Dalam perjalanan menuju laut Selatan, Bima melewati berbagai hambatan yang bisa menghabisi hidupnya. Hingga akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci sebagai simbol hati nurani dirinya, yang berwujud mirip dengan Bima namun dalam ukuran yang lebih kecil.

Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci, menyadarkan Bima akan makna dari Air Kehidupan. Air adalah lambang kesegaran, kelegaan, dan keindahaan. Dengan memahami kebenaran dan hakekat kehidupan, maka dengan sendirinya seseorang akan memperoleh apa yang disebut sebagai Air kehidupan (Hal 65).

Selain itu, Bima memahami tidak semua perintah guru harus dia laksanakan. Ini bukan persoalan Resi Dorna sebagai guru, mempunyai itikad baik atau tidak baik terhadap muridnya. 

Melainkan terkait masalah kepercayaan dan kepatuhan murid terhadap gurunya. Percaya dan patuh kepada guru memang baik, tetapi terlalu percaya dan terlalu patuh tanpa bersikap kritis terhadap ajarannya, adalah kesalahan.

Karena ajaran seorang guru adalah gagasan, yang mungkin berasal dari guru dia sebelumnya. Apakah gagasan tersebut telah teruji kebenarannya? Atau hanya mengikuti kata dari gurunya, yang diwariskan secara turun-temurun? Oleh karena itu sebagai murid, haruslah bersikaplah kritis. Jangan fanatik!  

Jangan hanya menelan mentah-mentah dogma-dogma ataupun doktrin-doktrin dari guru. Setiap guru akan cenderung menyatakan bahwa ajarannya memuaskan akal dan menentramkan hati. 

Namun, kenyataannya tergantung akal dan hati siapa. Seorang murid yang masih kekanak-kanakan, yang tidak kritis akan cenderung mengiyakan saja, apa kata gurunya karena menurutnya sudah cukup masuk akal. Berbeda dengan murid `dewasa` yang selalu mengkaji ulang ajaran gurunya. Apalagi yang terkesan tidak masuk akal (Hal 71 dan78).

Jangan hanya berguru pada satu orang saja. Murid mesti buka mata, telinga, pikiran, dan hati pada ajaran-ajaran para guru dan orang-orang bijak yang lain. Pertimbangkan, bandingkan, renungkan, dan ujilah mana yang sesuai dengan akal sehat dan hati nurani. Sesungguhnya ajaran para guru tersebut tidak ada yang benar-benar sempurna maupun benar-benar tak berguna. 

Setiap ajaran pasti punya kelebihan dan kekurangan. Murid harus bisa mengambil dan bermanfaat dari tiap ajaran para guru tersebut, lalu harus dapat mengkombinasikan satu sama lain hingga menjadi suatu gagasan baru yang utuh, yang menjadi keyakinan hidup. Keyakinan murid harus mandiri, tidak mengekor atau ikut-ikutan orang lain. Itulah kepercayaan dan pedoman bagi seseorang untuk menjalani hidup, yang kelak setiap orang pertanggung jawabkan dihadapan Yang Maha Esa (Hal 84-85).

Di masa kini, pesan-pesan dalam buku ini masih patut untuk dilaksanakan. Selain terhadap guru, sikap kritis yang diajarkan dalam buku ini wajib kita lakukan kepada siapapun, sehingga kita tidak menjadi seseorang yang fanatik terhadap sesuatu tanpa mengerti sepenuhnya. Buku ini cocok untuk siapapun yang tertarik dengan kisah-kisah wayang Jawa dalam versi novel, yang cukup memberikan wejangan hidup yang tidak menggurui. (yatnia.blogspot.com) 

Comments