Mengunjungi Sumedang tanpa Tahu




Matahari mulai menggeliat saat bus pariwisata yang saya tumpangi bersama rombongan termasuk ahli filsafat Indonesia Prof Drs Jakob Sumardjo, melaju di jalanan Kota Bandung menuju Kabupaten Sumedang. 

Perjalanan pertengahan November ini memang sudah saya nantikan sejak lama, karena ini bukan sebuah perjalanan wisata biasa yang sering saya lakukan. Tetapi sebuah perjalanan untuk melihat salah satu bagian artefak budaya dari sejarah Kota Tahu maupun Propinsi Jawa Barat yang beberapa waktu mendatang akan hilang terkena mega proyek Waduk Jatigede, salah satunya Kabuyutan Cipaku. 


Untuk sampai di Kabuyutan Cipaku yang berada di Dusun/Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang membutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan jarak tempuh dari Kota Bandung kira-kira 77 Kilometer. Jalan berkelok, menanjak, dan menurun sudah mulai saya rasakan selepas kawasan pendidikan di Kecamatan Jatinangor, dengan pemandangan alam berupa tebing dan hutan di kawasan Cadas Pangeran yang terkenal sebagai kawasan kurang bersahabat untuk para pengemudi yang belum mahir mengendalikan kemudi. Adrenalin saya mulai sedikit menurun saat memasuki kawasan pusat kota dan berharap perjalanan selanjutnya mulus.

Ternyata perkiraan saya salah, kontur jalan menuju kawasan Kabuyutan Cipaku dari pusat kota tidak kalah menantangnnya dengan Cadas Pangeran. Pemandangan sepanjang jalan kali ini sedikit berbeda, lebih banyak berupa lahan persawahan yang baru saja selesai dipanen.

Letak kabuyutan ternyata tidak berada di tepi jalan, melainkan harus melalui jalan setapak yang hanya bisa dilalui bus dengan model tiga per empat seperti yang saya tumpangi. Sehingga jika berpapasan dengan mobil atau sepeda motor penduduk dari arah berlawanan, maka pengemudi akan bingung, pasalnya di samping kanan dan kiri jalan setapak yang dilapisi dengan aspal seadanya itu padat oleh rumah penduduk dan lahan pertanian.

Semua penumpang dalam bus sempat khawatir jika hal itu terjadi, beruntung sepanjang 10 kilometer jalan setapak dengan tikungan cukup tajam, bus yang saya tumpangi tidak berpapasan dengan kendaraan lain. Namun lebar jalan yang sempit dan tinggi bus mencapai 3,4 meter, memaksa bus melaju dengan lambat dan tanpa sengaja menarik bagian pucuk-pucuk daun serta buah mangga yang tumbuh di hampir seluruh deretan halaman rumah penduduk yang pohonnya menjuntai ke jalan.  

Perjalanan tak cukup sampai di sana, untuk tiba di kawasan kabuyutan yang berada di dalam hutan tepatnya di Lembah Cipeueut, saya dan rekan-rekan yang lain harus berjalan kaki sekitar dua kilometer. Hanya pematang sawah yang menghubungkan perkampungan penduduk dengan kabuyutan tersebut.

Meskipun jarak yang cukup jauh dan medan jalan yang terjal dengan beberapa turunan dan tanjakan yang hanya dilapisi batu, semuanya tidak terlalu saya rasakan karena pemandangan yang masih alami berupa hamparan sawah dan rimbunnya pepohonan, juga aliran air Sungai Cibayawak yang jernih menebus semua kelelahan. Sapaan ramah dari penduduk setempat kepada saya dan rekan-rekan yang lain, membuat kami menemukan kembali kearifan lokal yang sebenarnya, di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota yang selama ini saya rasakan begitu individualistis.

Kabuyutan Cipaku menyimpan tiga artefak berupa menhir dan punden berundak. Pada artefak pertama dengan nama Situs Nawang Wulan saya menemukan menhir (batu berdiri) setinggi 40 cm. Sementara pada artefak kedua yang berjarak sekitar 300 meter terdapat punden berundak yang dikenal sebagai Situs Prabu Guru Aji Putih, dengan tiga undakan serta pada bagian puncaknya terdapat batu berdiri dan batu datar yang berlubang. Sementara pada artefak terakhir yang disebut Situs Resi Agung sama seperti artefak pertama yaitu menhir menghadap utara selatan berdiameter 30 cm dan tinggi 40 cm.

Sebelum sampai di ketiga artefak tersebut, saya selalu menemukan sumber mata air berupa sumur dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada artefak pertama sumur tersebut berjarak sekitar lima meter dari menhir, kedalaman sumur mencapai 1,5 meter, sedangkan pada artefak kedua letak sumur yang dalamnya sekitar 2 meter berada sekitar 10 meter dari punden berundak. Begitupun pada artefak ketiga jaraknya lebih jauh lagi sekitar 15 meter, tetapi sumur tersebut hanya memiliki kedalaman tidak lebih dari 0,5 meter.

Seperti juga kabuyutan pada umumnya, Kabuyutan Cipaku dijaga oleh seorang kuncen yang bertugas memelihara keberadaan kabuyutan yang merupakan sisa peninggalan kebudayaan megalitikum ini.
Menurut keterangan warga sekitar yang sempat saya tanyai, mereka meyakini Kabuyutan Cipaku merupakan pajaratan atau pasarean (kuburan dalam bahasa Sunda), dari keluarga cikal bakal kerajaan pertama yang berada di Sumedamg ribuan tahun yang lalu yakni Kerajaan Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih. 

Sementara berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Kabuyutan Cipaku merupakan lokasi pertama kali pendiri Sumedang yaitu Prabu Guru Aji Putih yang memiliki kaitan dengan Kerajaan Galuh (Ciamis) datang ke desa tersebut, lalu membangun Kerajaan Tembong Agung di Citembong Girang, Kecamatan Ganeas sekitar tahun 900.

Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Ratu Inten atau Nawang Wulan dan mempunyai putra bernama Tadjimalela, dalam tampuk kekuasaan Tadjimalela nama kerajaan berganti menjadi Kerajaan Sumedang Larang sekaligus memindahkan ibukota kerajaan ke Leuwi Hideng, Kecamatan Darmaraja. Kerajaan ini mengalami perkembang pesat pada masa Kerajaan Prabu Geusan Ulun pada tahun 1578 - 1601.

Sedangkan berdasarkan penjelasan Prof Drs Jakob Soemardjo yang sangat ahli dalam membaca simbol artefak mengungkapkan, Kabuyutan Cipaku adalah simbol kesatuan hidup masyarakat primordial Sunda sebagai masyarakat peladang yang berpola tiga (tritangtu). Situs Ratu Inten atau Nawang Wulan berdasarkan ciri-ciri artefaknya merupakan simbol lelaki kosmik atau tanah (rama), situs Prabu Guru Aji Putih simbol perkawinan kosmik atau ratu (batu), dan situs Resi Agung simbol perempuan kosmik atau langit (resi).
Sehingga dalam istilah pola tiga masyarakat Sunda dikenal resi ngagurat cai, rama ngagurat taneh, ratu ngagurat batu (resi menggurat air, rama menggurat tanah, dan ratu menggurat batu) atau lebih singkatnya simbol tekad, ucap, lampah.

“Semuanya merupakan kesatuan hidup. Tekad, pikiran, dan lampah. Pola tersebut tidak hanya ditemukan pada kabuyutan saja, pola rumahnya juga begitu, lisungnya (penumbuk padi tradisional) begitu, dan lain-lain,” terang pria kelahiran Klaten yang sangat fokus pada budaya Sunda ini. 


Sumedang, 19 November 2014

Comments