Menjelang
matahari menuju keperaduan, empat orang laki-laki keluar dari mobil jenazah, tepat
terparkir di depan rumah Rahayu. Satu orang di antara mereka mengenakan kaos
putih dengan celana panjang hitam berbahan katun dan memakai sandal jepit,
bergegas masuk ke dalam gang sempit di samping rumah Rahayu, yang hanya bisa dilewati satu orang dan jika
ada orang yang berjalan dari arah berlawanan maka yang lainnya harus berjalan
menyamping. Sementara tiga orang lainnya berpakaian serba hitam mondar-mandir
di sekitar mobil bercat putih itu.
Rahayu heran siapa
orang yang meninggal, semenjak dia pindah rumah bersama suaminya ke Kampung
Senyap, setiap kali ada warga yang meninggal tidak pernah telinganya mendengar
pengumuman melalui pengeras suara dari rumah ketua RT maupun RW. Padahal kalau tiba
jadwal penimbangan balita setiap satu bulan sekali, Rahayu selalu mendengar
pengumuman tersebut melalui pengeras suara dari rumah ketua RW yang memang
digunakan sebagai Posyandu dadakan.
Tadinya Rahayu
ingin keluar dan menanyakan kepada tiga orang laki-laki, yang dari tadi
mondar-mandir dan sama sekali tidak dia kenal, namun Rahayu buru-buru
mengurungkan niatnya ketika melihat lima orang perempuan yang usianya ditaksir
mendekati setengah abad, sudah berkumpul di depan pagar rumahnya. Sebagai warga
baru Rahayu malas untuk bergabung dengan ibu-ibu, mereka sering kali mengobrol
tentang warga lainnya, yang belum tentu kebenarannya.
Walaupun tidak
keluar rumah, Rahayu masih bisa mendengar dengan jelas apa yang diobrolan oleh
mereka. Suara mereka lebih nyaring dari pada suara tukang sayur yang menawarkan
dagangannya, apalagi jarak mereka mengobrol dengan rumah Rahayu hanya lima
meter, kadang-kadang dalam radius 15 meter obrolan mereka masih terdengar jelas.
“Itu yang
meninggal di dalam mobil jenazah,
lagi-lagi saudaranya Pak Ham, ya?,” tanya seorang ibu kepada ibu yang
lain.
"Pasti
keluarganya tidak mampu lagi membeli liang lahat, di tempat tinggalnya,"
tuding ibu yang lain.
Pak Ham tinggal
tepat di belakang rumah Rahayu, enam
bulan yang lalu tepatnya lima hari setelah
Rahayu pindah rumah ke kampung itu, Rahayu melihat pemandangan yang
sama. Minggu pagi sebuah mobil jenazah terparkir di depan rumahnya, 15 menit
kemudian mobil tersebut sudah pergi lagi karena hanya menjemput Pak Ham, saat
itu Rahayu bersama suaminya sedang mengobrol di teras rumah.
Kali ini lebih
dari satu jam saat bulan terlihat menggantikan matahari di langit, Pak Ham baru
muncul bersama laki-laki yang tadi masuk gang dan mobil jenazah pun
meninggalkan jalan desa yang sama sekali belum pernah tercium aspal. Benar saja
mobil tersebut melaju ke arah barat Kampung Senyap yang merupakan jalan buntu
dengan titik akhir tempat pemakaman umum (TPU), yang jaraknya satu kilo meter
dari rumah Rahayu.
Suara ibu-ibu
yang sedari tadi memekakan telinga Rahayu, sudah tidak terdengar lagi, dalam
seketika semuanya terasa senyap hingga akhirnya samar-samar terdengar suara
burung gagak, dari arah barat perkampungan.
Di kampung ini,
warga tidak usah membayar biaya liang lahat, karena tanah seluas lima hektar
yang dipergunakan sebagai TPU merupakan tanah wakaf. Berbeda dengan TPU di
tempat asal Rahayu dan suaminya, pihak keluarga harus membayar sewa lahan
meskipun dikubur dalam satu liang lahat.
Setiap ada orang
meninggal di kampung ini, tidak pernah ada pemberitahuan kepada warga melalui
pengeras suara, padahal di kota besar hal itu masih berlaku. Sebagai warga baru
terkadang Rahayu serba salah untuk datang ke rumah duka, biasanya informasi
tentang warga meninggal di sekitar
kampung, dia dapatkan dari warga lain yang lewat di depan rumah yang akan
melayat ataupun bertanya langsung kepada keluarga yang hendak menguburkan
saudaranya di TPU, memang satu-satunya jalan besar menuju TPU hanyalah jalan
desa di depan rumah Rahayu.
Selain itu, jika
orang yang meninggal tersebut belum dia kenal, Rahayu sering kali bertanya
kepada Bu Ida, tetangga di samping kiri rumah yang sudah turun temurun tinggal di Kampung Senyap.
Suatu waktu usai
melayat Bu Siti yang rumahnya terhalang 10 rumah dari tempat tinggal Rahayu
dan Bu Ida, Rahayu memberanikan diri bertanya kepada Bu Ida, mengapa pengeras
suara di Kampung Senyap tidak pernah digunakan untuk mengumumkan orang yang
meninggal, padahal itu penting sehingga warga yang lain tahu.
Dahulu setiap
ada orang yang meninggal selalu diumumkan lewat pengeras suara dari rumah ketua
RW, bahkan sampai beberapa kali walaupun orang yang meninggal bukan warga di
sini.
“Pernah ada
orang gila yang beberapa bulan tinggal di kampung sini, lalu meninggal, Pak RW
tetap mengumumkannya karena warga tahu dia tinggal di sini, namun sejak tiga
tahun yang lalu hal itu tidak dilakukan, setiap ada yang meninggal warga hanya
tahu dari mulut ke mulut,” Bu Ida menghela nafas.
Semuanya terjadi
karena ulah beberapa warga di sini juga, ketua RT maupun RW termasuk warga di
sini secara tidak langsung dilarang menggunakan pengeras suara untuk
memberitahu jika ada orang yang meninggal.
“Kenapa bisa
begitu?” Rahayu tidak mengerti dengan penjelasan perempuan berusia 60 tahun
itu.
Pak Surya yang
menjual rumahnya kepada Rahayu, sampai dia akhirnya memutuskan pindah rumah ke
kota lain bersama keluarganya, menjabat sebagai Ketua RW. Pak Surya bukanlah
pemimpin RW yang hanya mengurus pembuatan KTP atau sekedar tanda tangan berkas,
maupun menyampaikan surat pajak kepada warga dan meminta upah. Beliau selalu
siap membantu warganya dalam kondisi apapun tanpa kenal waktu dan tak pernah
meminta imbalan.
“Tengah malam,
rumah Pak Surya digedor-gedor oleh keluarga Pak Har, orang terkaya di kampung
kita. Keluarga Pak Har meminta tolong Pak Surya untuk mengurus pemakaman,”
Pak Surya
langsung mendatangi rumah Pak Har, yang letaknya persis di samping kanan rumah
dan hanya terhalang jalan gang yang ukurannya tak mencapai satu meter. Dia
meminta data orang yang meninggal tersebut untuk diumumkan sekaligus meminta
bantuan warga guna pengurusan jenazah. Namun Pak Har menolaknya, hingga
akhirnya salah satu keluarga Pak Har menceritakan, jenazah laki-laki yang akan
dikuburkan tersebut tidak diketahui identitas dan meninggal akibat ditabrak
anak bungsu Pak Har namun tidak dilaporkan ke polisi .
“Pak Surya serta
merta menolak mengurusnya, bagaimana pun orang yang meninggal harus dikuburkan
dengan diketahui keluarganya,” tutur Bu Ida menirukan ucapan Pak Surya.
Korban yang
ditabrak anak bungsu Pak Har itu, kabarnya tetap dimakamkan di TPU tersebut,
namun tidak ada warga yang ikut mengurusnya, tetapi Pak Har menyewa orang untuk
pengurusan dan pemakaman korban.
“Beberapa waktu
kemudian pada suatu pagi warga lainnya, yaitu anak Pak Mur meninggal dunia. Pak
Surya mengumumkannya setelah mendapatkan informasi kebenarannya dari adik Pak
Mur. Tetapi setelah diumumkan, Pak Mur mendatangi rumah Pak Surya dan
ngamuk-ngamuk serta bersikukuh kalau anaknya tidak meninggal. Padahal
jelas-jelas anaknya tersebut sudah meninggal dan dimakamkan pada sore harinya,”
Yang lebih
tragis dan memilukan, lima bulan setelah anak Pak Har menabrak orang sampai
tewas, salah satu pekerja bangunan di rumah Pak Hum yang merupakan adik Pak Har
meninggal karena terjatuh dari proyek pembangunan rumah berlantai empat,
letaknya tepat berada di depan rumah Pak Surya. Kebetulan persitiwa tragis itu
terjadi tengah malam, kala itu Pak Surya beberapa hari tidak berada di rumah
karena sedang bertugas dari kantornya ke luar kota, sehingga hanya mengetahui
bisik-bisik informasinya dari warga.
“Pak Surya
sempat mendatangi keluarga pekerja bangunan itu, yang ternyata satu kampung
dengannya.
Namun keluarganya diancam untuk tidak lapor kepada pihak yang
berwajib dan menuntut apapun, padahal keluarga Pak Hum hanya membayar biaya
pengurusan pemakaman saja dan itu pun diserahkan oleh pekerja yang mengantarkan
jenazah,” bisik Bu Ida.
Sejak berbagai
kejadian tersebut, Pak Surya memilih mengundurkan diri sebagai ketua RW dan
berpindah rumah. Sementara ketua RW yang baru, karakternya berbeda sekali
dengan Pak Surya. Ketua RW sekarang memilih untuk tidak mengumumkan melalui
pengeras suara apabila ada orang yang meninggal di Kampung Senyap.
Comments
Post a Comment