RUMAH KONTRAKAN

Jari tangan kanan Karim memencet tombol bel yang terletak di kusen pintu rumah Pak Isnan sampai lima kali, tidak tampak tanda-tanda pemilik rumah akan membukakan pintu. Karim mengerti siapa orang yang akan keluar membukakan pintu, pukul tiga dini hari, sebenarnya pria berbadan gemuk itu bukan tidak tahu sopan santun, ada ketakutan dalam dirinya jika warga sekitar yang sedang ronda menganggapnya maling, tetapi kondisi membuatnya menghilangkan tata krama bertamu.

Sekali lagi, dia beranikan diri jari-jarinya memencet tombol bel dan berharap sang empu keluar, dan dia bisa cepat pergi dari tempat ini. Ditengah kegundahannya, terdengar suara orang berjalan kaki dari dalam rumah, Pak Isnan membukakan pintu dan heran melihat Karim dengan tas ransel besar yang bertengger dipunggungnya.
Karim tidak mau Pak Isnan menyecarnya dengan berbagai pertanyaan, begitu melihat wajah pria paruh baya yang keriput di sana - sini, Karim buru-buru berucap,
“Bukan saya tidak sopan pak, tetapi sekarang tidak ada waktu lagi, saya ingin menyerahkan kunci rumah kontrakan bapak,” ucap Karim dengan suara gemetar.
“Lah, memangnya kenapa ?, masuk dulu Nak Karim, tidak enak berbicara di luar,” ajak Pak Isnan.
“Enggak apa-apa, saya baru saja mendapat kabar istri saya di kampung akan melahirkan, untuk uang sewa tiga bulan, tidak apa-apa tidak dikembalikan. Karena saya yang memutuskan untuk tidak menyewa lagi,”
Karim baru menempati rumah kontrakan Pak Isnan selama dua minggu, padahal dia sudah membayarnya selama tiga bulan.
“Jangan begitu, bapak jadi tidak enak. Bapak kembalikan sewa rumah selama dua bulan jadi hanya dihitung yang satu bulan ini,”
“Tidak usah pak, saya ikhlas,” kata Karim begitu Pak Isnan hendak mengambil uang dari kamar
Karim pun sesegara mungkin pamit, Pak Isnan masih tertegun dengan kelakukan Karim. Dia baru ingat di foto copy KTP yang Karim berikan kepadanya dua minggu lalu, statusnya belum kawin.
Entahlah, yang pasti bukan hanya Karim seorang yang buru-buru mengembalikan kunci rumah, sebelum masa kontrak maupun sewa rumah mereka habis, ada 10 orang sebelumnya juga seperti itu. Beberapa di antara mereka ada yang mau menerima kembali uang sewanya, tetapi ada pula yang tidak mau. Sebagian dari para pengontrak rumah menyerahkan kunci pada siang hari, pagi, malam, sampai dini hari seperti ini.
Semuanya sama beralasan, disuruh pulang mendadak ke kampung atau pindah tugas pekerjaan, walaupun beberapa dari mereka membawa serta keluarganya mengontrak di rumah kontrakan Pak Isnan.
Pak Isnan bersama istrinya tidak pernah berniat membangun bisnis rumah kontrakan, tetapi karena memiliki dua rumah, di mana rumah kontrakan berukuran lima kali sembilan meter, yang letaknya satu kilo meter dari rumah yang ditempatinya sekarang, tidak ada yang menghuninya, kedua anak Pak Isnan yang sudah menikah tinggal berada di luar kota. Daripada tidak ada yang mengurus rumah yang sempat ditinggali Pak Isnan dan keluarga selama 10 tahun itu, dipilih untuk dikontrakan.
***
Bel di rumah Pak Isnan kembali berbunyi, Pak Isnan yang sedang menyiram tanaman di halaman belakang, buru-buru membukakan pintu. Samsul, keponakan yang tinggal di kampung sudah berdiri dihadapan pria yang rambutnya sudah memutih semua.
“Waduh, kirain paman siapa, ayo masuk !”
“Sehat paman, saya ke sini mau menumpang tinggal sementara, soalnya saya mendapatkan pekerjaan di kota ini,” ucap Samsul setelah duduk di kursi tamu.
“Boleh saja, tetapi kalau kamu tidak keberatan kamu tinggal di rumah paman yang satu lagi, mumpung lagi kosong. Tetapi jika ada yang bertanya, jangan bilang kamu saudara paman!”
Samsul hanya mengganggukkan kepala, dirinya tidak mengerti kenapa tidak boleh mengaku sebagai saudaranya, tetapi dia tidak berani bertanya alasan sebenarnya.
Sudah satu bulan Samsul tinggal di rumah kontrakan Pak Isnan, meski begitu belum satu pun tetangga sekitar rumah yang dia kenal. Sebelum matahari terbit Samsul sudah pergi untuk bekerja, larut malam dirinya baru kembali ke rumah, sedangkan akhir pekan Samsul pulang ke kampungnya yang berjarak sekitar 40 kilo meter dari kota tempat tinggal Pak Isnan.
Akhir pekan ini Samsul sengaja tidak pulang kampung, soalnya Pak Isnan memintanya menunggui rumah yang akan ditinggalkan menemui anaknya di luar kota selama satu hari, sebelum menuju rumah yang biasa ditempati Pak Isnan, Samsul membereskan rumah kontrakan milik pamannya itu.  
Terdengar beberapa kali suara orang mengetuk pintu, Samsul tidak buru-buru membukakan pintu, dia mengira suara ketukan itu berasal dari rumah sebelah yang berdempetan dengan rumah yang dia huni.
Namun suara ketukan itu kembali terdengar, Samsul pun menuju pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Seorang pria yang tidak dia kenal, berkunjung memperkenalkan dirinya, pria yang ditaksir berusia 60 tahun itu mengaku tinggal persis di belakang rumah kontrakan Samsul.
“Kamu sudah berapa lama di sini?,” 
“Sudah sebulan lebih pak, maaf saya belum mengenalkan diri keseluruh tetangga,” jawab Samsul
“Nak Samsul, atas rekomendasi siapa mengontrak di sini ?” ujar pria itu menyelidik
“Dapat rekomendasi dari teman saya,” Samsul berbohong
“Memangnya teman kamu tidak pernah cerita soal rumah kontrakan ini ?” Pria berbadan kurus yang duduk berhadapan dengan Samsul memerhatikan seluruh bagian dari rumah yang memiliki dua kamar ini.
Samsul hanya menggelengkan kepala, dia sama sekali tidak paham dengan ucapan pria yang mengaku bernama Pak Kepu
“Jika kamu ingin selamat, kamu harus cepat-cepat pindah dari sini. Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya !” ancamnya sambil keluar pulang tanpa berpamitan kepada Samsul, yang masih bengong tidak mengerti dengan maksud ucapan Pak Kepu.
Malam ini Samsul tinggal di rumah Pak Isnan, sampai tengah malam dirinya masih terjaga, isi kepalanya masih terpikir dengan arti ucapan tetangga belakang rumah kontrakannya itu. Dia belum sempat menanyakan kepada Pak Isnan, lagi pula selama satu bulan tinggal sendiri di rumah itu, dia tidak pernah menemui hal-hal yang aneh dan barang-barangnya aman tidak pernah ada orang yang memasuki rumah itu untuk mencuri. Bahkan dua hari yang lalu, dia lupa tidak memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah tanpa dikunci, pagi harinya sepeda motor itu masih terparkir di halaman rumah bercat putih itu.
***
“Paman kenal dengan Pak Kepu?,” Samsul berbicara dengan cemas
“Iya, tetangga yang berada di belakang rumah yang kamu tempati,”
“Kemarin pagi sebelum paman pergi, Pak Kepu menemui saya,”
“Lantas apa yang dia katakan,  paman sudah jarang bertemu Pak Kepu,”
Samsul diam, dia belum yakin dan takut pamannya marah dengan ancaman Pak Kepu
“Begini paman, saya sebenarnya tidak takut tetapi hanya ingin tahu kebenarannya,”
Pak Isnan hanya mengangguk dan membenarkan kaca matanya
“Kemarin Pak Kepu meminta saya untuk meninggalkan rumah itu, jika tidak maka saya harus menanggung akibatnya,”
“Bisa-bisanya dia mengancam seperti itu, memangnya ada apa dengan rumah itu. Dulu paman tinggal di sana aman-aman saja,” raut muka Pak Isnan menunjukkan kemarahan.
“Kamu tidak mengaku saudara paman kan,?
“Tidak paman,”
Pak Isnan mengerti sekarang mengapa penghuni rumah kontrakan semuanya tidak betah, bahkan tetangga terdekat yang tertarik mengontrak di rumah Pak Isnan semuanya mundur setelah melihat bagian dalam rumah tersebut.
“Mungkin dia marah karena dulu sempat ingin membeli rumah itu tetapi paman tidak kasih,”
“Kenapa harus marah dan menyebarkan ancaman jika paman tidak mau menjualnya?,” Samsul semakin bingung.
“Dia ingin membeli rumah itu, jauh lebih murah dari harga umum tanah dan rumah di tempat ini. Dan meminta pembayaran dilakukan secara mencicil,” 
***
Beberapa hari ini, terdengar desas-desus yang dihembuskan anak Pak Kepu, jika rumah peninggalan orangtua Pak Kepu, yang didiami oleh dia sering ada penampakan hantu. Setelah  saudara-saudara Pak Kepu berniat untuk menjualnya kepada orang lain. 
Pak Isnan menggeleng-gelengkan kepalanya, mendengar kabar yang santer jadi obrolan di tempatnya tinggal. “Bisa-bisanya semua rumah yang ingin dimiliki dan dibeli dengan harga murah oleh Pak Kepu, diisukan berhantu,” Pak Isnan hanya bisa membatin.
***

Comments