Masjid di Bekas Kantor Arsitek


Ada berbagai keunikan yang saya temukan dibandingkan dengan masjid lainnya, yang saya lihat ketika mengunjungi Masjid Cut Meutia. Sebenarnya saya pernah beberapa kali melewati masjid yang terletak di Jalan Cut Meutia No 1, Jakarta Pusat ini, tetapi sayangnya saya belum sempat singgah di masjid ini.

Baru beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya saya kembali bertandang ke ibu kota dan  menyempatkan diri salat Zuhur di masjid yang berada di samping Stasiun Gondangdia ini. Fasad Masjid Cut Meutia jauh dari kesan sebuah masjid yang kental dengan nuansa Timur Tengah, hanya ada empat kubah bawang berukuran kecil yang di pasang di empat sudut atapnya yang berbentuk kubus.
Fasad masjid ini lebih mirip dengan gedung peninggalan kolonial Belanda, dengan pemasangan jendela yang hampir mengelilingi seluruh dinding bangunan. Ciri lainnya semakin jelas terlihat, waktu saya berada di dalam masjid, yakni jarak lantai dan langit-langit bangunan cenderung tinggi, juga pemasangan lampu khas Belanda yang megah dan mewah. 
Arah kiblat di masjid ini tidak lurus sejajar dengan struktur bangunan, hal itu ditandai dengan pemasangan karpet untuk jamaah salat menyerong sekitar 45b derajat. Selain itu posisi mihrab dan mimbar yang biasanya terletak berdampingan, di masjid ini saya melihat penempatan mimbar dan mihrab terpisah. Mimbar sebagai tempat khatib berkhotbah berada di antara saf jamaah, sedangkan mihrab tempat imam memimpin salat berada di samping kiri paling depan dari tempat jamaah menunaikan salat. 
Ternyata dari informasi secuil, yang tertulis di atas prasasti yang sudah tidak utuh lagi bentuknya yang terletak di luar pagar halaman masjid, tepatnya di Taman Cut Meutia. Bangunan masjid berlantai dua yang dibangun pada masa penjajahan Belanda ini, pada mulanya memang tidak diperuntukan sebagai tempat ibadah umat Islam. Gedung yang dirancang oleh PAJ Moojen dan dibangun pada tahun 1901 ini, dipergunakan untuk kantor arsitek NV De Bouwploeg.
Selepas itu pada masa penjajahan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai Markas Besar Angkatan Laut Jepang. Lalu, gedung ini pun beberapa kali beralih fungsi antara lain  dipergunakan untuk kantor Walikota Jakarta Pusat, kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta, dan pernah dipakai sebagai Sekretariat Majelis Permusyawarahan Rakyat Sementara (MPRS) pada masa Ketua MPRS Abdul Haris Nasution.
Setelah beberapa kali pengubahaan penggunaan fungsi bangunan oleh berbagai instansi, masyarakat di sekitar gedung menginginkan adanya masjid di kawasan itu. Hal itu disampaikan kepada Abdul Haris Nasution. Dan, bangunan itu pun dapat dipergunakan untuk tempat ibadah tanpa status masjid, hingga akhirnya 15 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1987 keluar Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta, yang menyatakan bangunan tersebut resmi menjadi bangunan masjid.
Nama masjid sendiri, diambil dari nama jalan tempat bangunan masjid ini berdiri. Untuk memperjelas kesan masjid yang mendalam, karena bangunan masjid ini termasuk ke dalam bangunan cagar budaya, yang hanya boleh direnovasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Maka interior masjid ini dilengkapi dengan ornamen kaligrafi Arab, yang ditempelkan pada bagian dinding ruangan masjid bercat putih ini.
Untuk mencapai masjid ini, ada beberapa transportasi umum yang bisa dipilih di antaranya, jika dari Bogor, Depok, atau Bekasi bisa menggunakan kereta api tujuan Jakarta Kota, turun di Stasiun Gondangdia. Sementara dari kawasan sekitar Jakarta dapat menggunakan Kopaja P20 rute  Lebak Bulus – Senen, berhenti di samping Stasiun Gondangdia, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 200 meter ke arah kanan menuju masjid ini.
Walaupun berada di pusat kota Jakarta yang terkenal dengan suhu udaranya yang panas, namun saat berada di Masjid Cut Meutia saya merasa nyaman dan sejuk, hal itu karena halaman masjid ini banyak ditanami pohon peneduh.
Jadi tidak ada salahnya, jika Anda sedang berada di ibu kota dan hendak menunaikan ibadah salat, menjadikan Masjid Cut Meutia sebagai pilihan tempat untuk melaksanakan rukun Islam yang kedua.

Comments