Pola Pikir

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman yang akan menggarap suatu pertunjukan tari, dimana cerita yang diangkat dari salah satu cerita Sunda (saya sengaja tidak menyebutkan judul kisahnya). Yang pasti dalam kisah ini, tokoh utama seorang perempuan putri dari suatu kerajaan diceritakan meninggal dunia, nah dalam pertunjukan tari teman saya ini, sang tokoh utama ini tidak meninggal.


Saya pun mengajukan pertanyaan, memangnya bagaimana batasan mengubah suatu cerita yang malahan itu kisah nyata, berbeda dengan cerita yang selama ini diyakini. Soalnya selama ini saya selalu ingin membuat cerita pendek berjenis sejarah fiksi, dimana latar belakang dari kisah ini memang ada tetapi kita menghadirkan tokoh yang tidak tersentuh dalam kisah nyatanya (sebenarnya ada tetapi dia tidak menjadi pahlawan yang dikenal). Masalahnya seringkali apa yang ingin kita sampaikan, bisa dimaknai berbeda oleh orang yang membacanya.

Tiba-tiba teman saya hanya menjawab, memang dalam kisah selama ini tokoh utama tewas bunuh diri, tetapi sampai sekarang pola pikir tentang kisah ini masih hidup dan terus dirawat. Saya pun tersadar, ya memang dalam menciptakan serta membaca karya seni baik sastra, rupa, maupun pertunjukan kita tidak bisa mengungkapkannya secara langsung tetapi pesan dalam seni adalah pertukaran simbol.

Hal ini memang seringkali menjadi masalah dalam menafsirkan karya seni, apalagi jika antara pencipta dan penikmat seni tidak memiliki pemaknaan yang sama dalam melihat karya seni ini.

Comments