KOTAK PERHIASAN


Malam semakin ranum, ayam jago belum siap untuk membusungkan dadanya mengeluarkan kokokannya membangunkan warga kampung. Somad, Akam, dan Wiro duduk mengelilingi api unggun di samping pos ronda, yang sengaja mereka buat supaya bisa mengusir terpaan angin yang menyusup tanpa ampun  hingga tulang.

Kopi yang mereka seduh tidak mempan melawan dinginnya udara malam, jaket dan sarung yang mereka kenakan bagaikan kain tipis yang hanya berfungsi membalut tubuh ketiganya yang kompak kurus.
“Pulang saja yuk ! Lagian mana ada orang yang mau menyatroni rumah warga dengan udara dingin seperti ini,” ujar Somad sambil mengusap-ngusap kedua punggung tangannya bolak-balik.
“Maling itu, enggak peduli mau panas atau dingin, untuk melancarkan aksinya,” timpal Wiro menarik sarungnya hingga menutupi ubun-ubun kepalanya.
“Iya, lagian ini tanggung jawab kita karena sudah jadwal ronda, kalau ada apa-apa mau tanggung jawab akibatnya ?” Tutur Akam yang duduk di antara Somad dan Wiro.
Kayu bakar dari bekas bangunan di depan pos ronda semakin habis dilumat api, mata Wiro melihat sekeliling mencari kayu bekas atau ranting yang terjatuh dari pohon jambu air yang berada di samping pos ronda.
Akam dan Somad berdiri dan berpindah ke pos ronda, dengan alas berbentuk persegi empat terbuat dari lembaran beberapa papan yang lapuk dan bolong di hampir semua tepinya. Badan kurus keduanya duduk dipinggir pos ronda yang hanya berukuran 2 x 2 meter, atap pos ronda terbuat dari daun kelapa memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan alas pos ronda.
“Maling...maling...” teriak suara pria terdengar sangat nyaring dari arah selatan, hingga mengagetkan  Wiro yang sedang mengumpulkan kayu.
“Waduh bahaya, beneran ada maling ?”
“Akam, Somad, cepetan kalian ke sini, apa ini cuma pendengaran saya saja atau memang benar ada maling ?”
Kedua laki-laki itu mendekati Wiro, dan suara itu semakin jelas terdengar.
“Ayo kita menuju ke sana! ” Ajak Somad
Ketiganya berlari ke arah selatan yang kontur jalannya menurun, suara itu semakin kencang terdengar saat ketiganya mendekati rumah Pak Kun.  Pak Kun bersama istrinya berada di luar pagar rumah dan masih berteriak-teriak.
“Ada pak ? Mana malingnya ?” Tanya Wiro
“Kalian ini ngeronda kemana saja ? Itu ke sana dia mengambil kotak perhiasan istri saya,” seru Pak Kun dengan menunjuk ke arah selatan yang terlihat sangat gelap.
Tanpa komando, ketiganya kompak berteriak dan Akam memukul kentongan yang dibawa dari pos ronda, supaya warga ikut membantu mereka. Tak berapa lama, semua warga laki-laki di kampung itu berkerumum di rumah Pak Kun dan mengikuti langkah ketiganya, sebagian berpencar ke samping rumah warga yang lain.
Suara kasuk-kasuk terdengar di balik salah satu pohon mahoni yang berada di ujung jalan, Somad menyorotkan senternya pada pohon itu. Jejak laki-laki yang mengenakan penutup wajah itu terlihat berada di balik pohon mahoni, dengan sigap warga mengepungnya dan hantaman tinju dari warga yang kesal tidak terelakan mendarat di wajah dan tubuh lelaki berbadan gempal itu, termasuk tinju dari Akam, Somad, dan Wiro.
“Hentikan, kalian tidak boleh main hakim sendiri !” Teriak Pak RW yang datang bersama Pak Kun.
Semua warga menghentikan tinjunya dan menjauhi pelaku yang masih memegang kotak perhiasan berbahan kayu jati dengan ukiran jepara milik istri Pak Kun.
Pak RW  mendekati pelaku bertopeng dengan baju dan celana berwarna gelap
“Buka topengnya pak, kami ingin tahu siapa dia ? ” Ujar warga kompak tidak sabar
“Sabar...sabar, kalian jangan main hakim sendiri,” ucap Pak RW
“Silakan Pak Kun kalau mau buka topeng pelaku !” Perintah Pak RW
Pak Kun mendekati pria itu dengan kesal, yang terlihat dari wajah pelaku hanya kedua bola matanya saja. Pak Kun mengambil kotak perhiasan dan membuka topeng pelaku.
Akam tertunduk lesu, begitupun warga yang lain tanpa dinyana pelaku adalah warga sekitar yang meninggalkan kampung itu hampir 10 tahun, termasuk meninggalkan ibu dan Akam yang saat itu masih berusia 10 tahun.
Sekujur tubuh ayah Akam memar, akibat tinju dari 50 warga yang beringas, dia pun pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
***
Air mata Akam mengalir tanpa henti dari kedua kelopak matanya, badannya menghadap  pusara ayahnya. Ibunya berdiri di samping Akam, setelah warga yang mengantarkan jenazah ayahnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Akam menyesali tindakannya, walaupun ayahnya menjadi orang yang dibencinya semenjak kepalanya bisa menyimpan ingatan. Akam masih ingat benar dahulu ayahnya selalu memperlakukan ibu dan dirinya dengan seenaknya, menghabiskan uang gajinya di meja judi dan pulang dengan meracau tidak jelas, hingga akhirnya pergi meninggalkan keduanya akibat tergoda wanita lain.

Comments